Metro

Ganggu Alur Kapal Laut, Gapasdap Kritisi Akses ke IKN Megaproyek Jembatan Pulau Balang

Dewan Penasihat Gapasdap Bambang Harjo Soekartono (kanan) saat melihat dari dekat proyek pembangunan Jembatan Pulau Balang (foto:kotaku.co.id/ist)

BALIKPAPAN-Dewan Penasihat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Bambang Harjo Soekartono mengkritisi proyek pembangunan Jembatan Pulau Balang Balikpapan karena berpotensi melemahkan ruang gerak kapal laut yang beraktivitas di sekitarnya. “Ketinggian jembatan (dari permukaan air saat kondisi pasang) tidak lebih dari 20 meter. Itu jelas mengganggu ruang gerak kapal laut yang beraktivitas di sekitarnya. Dan ini menjadi tidak ekonomis kalau jembatan menghalangi aktivitas kapal,” terangnya usai melihat secara langsung proyek pengerjaan Jembatan Pulau Balang, Selasa (17/3/2020).

Jembatan Pulau Balang merupakan jembatan yang akan menghubungkan Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Jembatan melintas di Teluk Balikpapan dengan panjang sekitar 1.750 meter. Dibangun dalam dua bentang, yakni bentang pendek sepanjang 500 meter dari PPU ke Pulau Balang dengan konstruksi jenis pelengkung beton presstres menggunakan dana APBD. Sementara itu untuk bentang lainnya sepanjang 1.250 meter dari Kota Balikpapan ke Pulau Balang menggunakan konstruksi cable stayed konon ditanggulangi dana APBN.

Disebutkan, minimal ketinggian jembatan dari permukaan air saat pasang 40 meter. “Di negara-negara Eropa, jembatan yang rendah mulai dibongkar dan ketinggiannya dinaikkan agar kapal bisa melintas,” ungkapnya.

Proyek pembangunan Jembatan Pulau Balang (foto:kotaku.co.id/ist)

Bambang karib ia disapa, menilai, proyek tersebut bukannya memacu perekonomian tapi justru akan menggerus daya beli masyarakat sekitar karena ongkos angkut menggunakan transportasi darat jauh lebih mahal ketimbang menggunakan moda transportasi laut. “Jarak ke hulu sampai 200 Kilo Meter, masih bisa dijangkau kapal laut. Kalau ingin biaya angkutan logistik tetap murah, aktivitas kapal harus bisa dimaksimalkan, jangan sampai terganggu,” lugasnya.

Ia mengaku tidak ingin Jembatan Pulau Balang bernasib sama dengan jalan tol Balikpapan-Samarinda. “Walaupun sudah digratiskan selama tiga bulan tapi yang lewat di sana tidak lebih dari 1 persen dari kapasitas jalan. Akhirnya membuang biaya. Dalam kondisi ekonomi negara saat ini tentu sangat rentan,” ujarnya memberi gambaran. Padahal sejatinya, infrastruktur dibangun untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

Lebih dari itu, megproyek pembangunan Jembatan Pulau Balang juga menyimpan kontroversi. Di antaranya dampak lingkungan dan ekosistem kawasan konservasi Hutan Lindung Sungai Wain. Bahkan kabarnya, Jembatan Pulau Balang merupakan ancaman serius bagi kelestarian satwa langka di sekitarnya seperti Bekantan. “Hutan Lindung merupakan tepat tinggal sejumlah hewan yang tidak dimiliki negara lain. Harusnya dilestarikan bukan malah mengancam kehidupan dan ekosistem di sana,” kesal Bambang.

Disinggung peran Jembatan Pulau Balang yang cukup strategis yakni sebagai akses menuju kawasan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru, dipatahkan Bambang. “Akses ke IKN tidak hanya Balikpapan yang dihubungkan, Samarinda juga harus terhubung. Kan sudah ada akses yang tidak menggangu ekosistem dan alur transportasi laut yakni dari tol di Km 38 langsung menuju ke pusat IKN, bahkan akses itu sudah ada sejak dulu,” jawabnya bersemangat. Harusnya, sambungnya, infrastruktur tersebut dioptimalkan, jalannya dilebarkan dan dikembangkan, sekaligus menjadi akses menuju kawasan industri.

Bambang berharap, dalam pelaksanaan pembangunan pemerintah mengakomodir seluruh sektor dan tidak menganggu ekosistem. Termasuk dalam proyek pembangunan Jembatan Pulau Balang. “Kan masih banyak alternatif lokasi jembatan. Kami akan terus memberi masukan kepada pemerintah pusat. Dan bila membangun jembatan harusnya didahulukan akses yang di darat jadi bukan jembatan. Untuk permasalahan ini, infrastruktur di darat justru belum dibangun (optimalkan, Red),” pungkasnya. (*)

To Top