Ekbis

Menyelami Pemanfaatan Digital, Hasilnya, Infrastruktur Megah Daya Saing SDM Rendah

Survei daya saing digital (foto: kotaku.co.id/ist)

KOTAKU, BALIKPAPAN-Meningkatnya penetrasi internet seiring dengan membaiknya infrastruktur digital di seluruh
wilayah nusantara tidak dibarengi dengan daya saing yang mumpuni. Hasil pemetaan daya saing digital Indonesia yang diselenggarakan East Ventures melalui Digital Competitiveness Index (EV-DCI) tahun 2020 menunjukkan bahwa secara umum EV-DCI Indonesia bernilai 27,9 dengan skala 0-100. “Artinya, Indonesia memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital,” kata Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca dalam siaran persnya, Selasa (7/4/2020).

East Ventures adalah perusahaan modal ventura paling agresif di Indonesia. Berinvestasi di lebih dari 170 perusahaan startup termasuk sebagai investor pertama. Antara lain Tokopedia dan Traveloka.

Secara akurasi dia menyebut, berdasarkan sembilan pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, pilar penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) mendapat nilai tertinggi. Ini berarti dari segi infrastruktur, Indonesia tergolong paling siap dalam
ekonomi digital. Sedangkan, pilar sumber daya manusia (SDM) dan kewirausahaan yang merupakan dua pilar memperoleh
skor terendah yang menandakan bahwa Indonesia perlu bekerja keras untuk menyiapkan SDM dan kewirausahaan untuk menghadapi ekonomi digital.

Berdasarkan wilayah, Pulau Jawa memimpin hampir semua pilar pembangunan EV-DCI. Namun, Kaltim menjadi provinsi di luar Pulau Jawa dan Bali yang mampu menempati posisi ke 8 nasional dengan skor EV-DCI 37,9. Keberadaan Ibu Kota Negara (IKN) yang baru ini di posisi tersebut melampaui ekspektasi karena melebihi provinsi lain, terutama Bali dan Jawa Tengah. “Kaltim memiliki performa paling baik di pilar penggunaan ICT dengan skor 72,8 atau duduk diurutan ke-4 karena didukung rasio kepemilikan HP dan komputer yang tergolong tinggi,” ucap Willson karib ia disapa.

Selain penggunaan ICT, Kaltim juga memilki skor cukup tinggi dalam hal regulasi dan kapasitas pemerintah daerah. Yakni 43,7 atau diurut9 ke-9.

Pilar ini mendapatkan dukungan dari indikator angka partisipasi kasar SMA/SMK yang memiliki skor tertinggi di Indonesia yakni 100.

Sementara dukungan infrastruktur di Kaltim memiliki skor menengah yaitu 43,5 atau berada diurutan ke-19. Sedangkan inklusi keuangan masih memiliki ruang untuk berkembang dengan skor 39,7 atau berada di posisi ke-9. “Dari semua pilar input yang dinilai, SDM merupakan pilar dengan nilai terendah hanha 20,2 atau ke-14,” ungkapnya. Ia menduga perguruan tinggi
dengan pogram studi digital masih sangat rendah yakni 7,6 atau duduk diurutan ke-17 sehingga jumlah mahasiswa yang diharapkan menjadi sumber SDM juga rendah sebesar 8,7 atau ke-16. Keterbatasan SDM membuat perekonomian di sektor digital juga kurang berperforma baik dan mendapatkan skor 19,9 atau urutan ke-27. Kewirausahaan sektor informasi dan
komunikasi juga memiliki skor rendah hanya 30,7. Akan tetapi relatif lebih baik dibandingkan kebanyakan provinsi yakni bertengger di posisi ke-9.

Mengerucut ke tingkat kota, Balikpapan menjadi kota dengan skor EV-DCI tertinggi di Kalimantan. Sebesar 44,2. Itu karena Balikpapan merupakan pusat bisnis dan industri, sekaligus memiliki perekonomian terbesar di Kalimantan. Pilar
perekonomian di kota ini mendapatkan skor 53,8. Dari sisi input, SDM bidang digital memiliki skor 4,1 yang berarti perlu
ditingkatkan. Penggunaan ICT di kota yang berdekatan dengan lokasi ibu kota Indonesia yang baru ini termasuk
tinggi dengan skor 64,4. Sementara itu, kewirausahaan terkait digital belum berkembang dengan baik. Itu terbukti dengan skor 30,1. Pilar-pilar pendukung di Balikpapan tidak ada yang menonjol. Hanya infrastruktur yang mendapatkan skor cukup tinggi sebesar 65,0. Sementara pilar keuangan dan regulasi/ kapasitas Pemda masing-masing mendapatkan skor 46,4 dan 46,3. Meski berada di kisaran 40-an, pilar keuangan relatif tinggi
dibandingkan kota lainnya. Berbeda dengan Balikpapan, Ibu Kota Kaltim yakni Samarinda, justru berada pada peringkat ke 21
dengan skor 43,1. Pilar yang mendapatkan skor tertinggi meliputi penggunaan ICT dengan skor 63,2.

Pilar lainnya mendapatkan skor di bawah 60. Pilar SDM terbilang rendah dengan skor 4,01. “Perekonomian bidang digital termasuk yang terendah di antara kota besar lainnya dengan skor 53,0. Selain itu, pilar ketenagakerjaan mendapatkan skor terendah dibandingkan kota besar lain, yaitu 49,1,” terangnya kemudian. Pun begitu untuk pilar regulasi dan kapasitas Pemkot Samarinda, sebesar 58,6.

“Secara umum, perkembangan ekonomi digital yang cukup pesat tersebut memberikan dampak positif, seperti
tumbuhnya berbagai platform jual-beli online, transportasi online, jasa keuangan online hingga digitalisasi pariwisata. Ini membuat ekosistem ekonomi digital Indonesia semakin beragam,” pukaunya.

Sementara itu, dampak positif bagi tenaga kerja apalagi kalau bukan perubahan pola penyerapan dan komposisi tenaga kerja. Dalam tiga tahun terakhir, porsi tenaga terampil dan profesional tercatat meningkat hampir di semua sektor lapangan usaha
yang terkait digital. Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan kemajuan digital, persaingan di pasar kerja lebih kompetitif dan pekerja terampil dapat lebih unggul. Sektor Informasi dan Komunikasi yang menjadi tulang punggung ekonomi digital mencatatkan peningkatan tertinggi sebesar 15,8 persen.

Di sisi lain, perkembangan ekonomi digital juga berdampak negatif. Ini terlihat dari banyaknya perusahaan retail yang menutup gerainya, perusahaan taksi yang mengurangi jumlah armada secara signifikan, serta perbankan yang menutup sebagian kantor cabang. “Mereka harus menghadapi persaingan ketat dengan para pemain digital, seperti e-commerce, transportasi online dan financial technology,” paparnya lebih lanjut.

Dampak negatif ini juga dirasakan para pekerja yang kurang terampil. Di daerah-daerah dengan daya saing digital yang cukup tinggi, porsi pekerja rentan digitalisasi mengalami penurunan. DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat sebagai daerah yang masuk dalam lima besar dengan daya saing digital tertinggi,
mengalami penurunan porsi pekerja rentan yang tertinggi.

“Industri digital adalah perekonomian yang berbasis penguasaan teknologi dan pengetahuan, bukan bertumpu pada penguasaan aset. Ini membuka kesempatan yang sama bagi perusahaan rintisan untuk mengambil peran sentral dalam membangun ekonomi digital Indonesia bersama korporasi raksasa dan perusahaan multinasional,” ulasnya kembali.

Dia menambahkan ekonomi digital Indonesia wajib hadir dengan semangat inklusif. Para pengguna baru internet di Tanah Air tidak hanya merasakan perubahan gaya hidup, tetapi juga menikmati manfaat ekonominya.

Seperti pedagang kecil yang membuka lapak di e-commerce, mitra pengemudi layanan on-demand, hingga pemilik warung yang menerima pembayaran listrik kini ikut berkontribusi menggerakan ekonomi Indonesia.

Adapun data yang disajikan dapat dijadikan perbandingan bagi para pemangku kepentingan dan sektor publik maupun swasta agar pemanfaatan teknologi digital di masing-masing wilayah semakin dipacu. “Harapan kami, para pemimpin di tiap daerah semakin terpacu menciptakan ekosistem yang terbaik bagi perkembangan ekonomi digital, baik lewat pembangunan infrastruktur, pengembangan talenta, maupun
regulasi yang tepat,” imbuhnya. Menurutnya, pengalaman East Ventures selama 10 tahun bekerja sama dengan para founder Indonesia, mencerminkan kearifan lokal merupakan aset yang tak tergantikan dalam membangun perekonomian digital nusantara. (*)

Print Friendly, PDF & Email
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top