
KOTAKU, BALIKPAPAN-Belakangan ini, permohonan dispensasi nikah terjadi peningkatan signifikan menyusul adanya implikasi hukum Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam perubahan Undang-Undang itu, menjangkau batas usia untuk melakukan perkawinan, perbaikan norma menjangkau dengan menaikkan batas minimal umur perkawinan bagi wanita. Batas minimal umur perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu 19 tahun.
Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.
Hal itu menjadi salah satu faktor meningkatnya dispensasi nikah belakangan ini. Kepala Pengadilan Tinggi Agama Samarinda Imran Rosyadi menuturkan, permohonan peningkatan perkara dispensasi nikah yang cukup signifikan sampai 200 hingga 300 persen. Hal itu tercatat untuk seluruh Kaltim.
Dipaparkannya, tahun 2018 dispensasi nikah hanya 399 pemohon, 2019 menjadi 618 pemohon, tahun 2020 menjadi 1.400, dan tahun 2021 mencapai 1.314 pemohon. Sedangkan tahun 2022 per Agustus mencapai 681 pemohon. “Tahun 2022 dibanding tahun sebelumnya sudah ada 200 lebih,” tuturnya kepada media ini saat dijumpai di Hotel Novotel Balikpapan, Kamis (6/10/2022) siang.
Menurutnya faktor yang menjadi pertimbangan para pemohon untuk mengajukan permohonan dispensasi nikah karena dalam keadaan darurat seperti pasangan hamil duluan, kemudian sudah mendapatkan restu orang tua, kemudian orang tua menginginkan agar tidak terjadi perbuatan yang tidak diinginkan.
“Dengan adanya dispensasi tersebut mengakibatkan implikasi sosial, yang perlu dilakukan adalah edukasi kepada para remaja tentang kesiapan untuk menikah,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan perlu memperbanyak perbanyak sosialisi terkait perlunya kematangan dalam perkawinan karena usia perkawinan di bawah usia yang ditentutan membawa dampak di antaranya soal kemungkinan risiko keselamatan ibu dan anak.
“Kemudian percekcokan juga bisa terjadi karena masing-masing pihak belum dalam usia matang,” pungkasnya. (*)
