
KOTAKU, BALIKPAPAN-Institute for Essential Services Reform (IESR) yakni lembaga Think Tank terkemuka bidang energi dan lingkungan berbasis di Jakarta, Indonesia, merilis laporan mengenai potensi dampak transisi energi terhadap daerah penghasil batubara di Indonesia.
Laporan berjudul Just Transition in Indonesia’s Coal Producing Regions, Case Studies Paser and Muara Enim ini menemukan bahwa diversifikasi dan transformasi ekonomi perlu segera direncanakan.
Itu untuk mengantisipasi dampak sosial dan ekonomi dari penurunan industri batubara seiring dengan rencana pengakhiran operasi PLTU dan meningkatnya komitmen transisi energi dan mitigasi emisi dari negara-negara yang jadi tujuan ekspor batubara.
Dalam siaran pers yang disampaikan, Senin (4/9/2023), dijelaskan, IESR merekomendasi pemerintah pusat dan daerah menyadari potensi dampak transisi energi terhadap ekonomi dan pembangunan daerah-daerah penghasil batubara.
Dan, mulai merencanakan transformasi ekonomi secepatnya.
Yakni dengan memanfaatkan Dana Bagi Hasil (DBH) batubara dan program corporate social responsibility (CSR) untuk merencanakan dan mendukung proses transformasi ekonomi.
Termasuk perluasan akses dan partisipasi publik untuk transisi yang berkeadilan.
Studi ini mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.
Secara akurasi disebutkan, DBH batubara menyumbang 20 persen dari total anggaran pendapatan pemerintah Muara Enim, tahun 2023.
Kemudian 27 persen dari total pendapatan pemerintah Paser, tahun 2013-2020.

“Perencanaan transformasi ekonomi pasca tambang batubara perlu mengedepankan kegiatan-kegiatan ekonomi yang lebih banyak memberikan multiplier effect (efek ganda) bagi masyarakat lokal.
Selain itu, perlu diperhatikan juga dampak potensi penurunan produksi batubara untuk sektor ekonomi informal yang selama ini tidak terekam dalam analisis ekonomi makro,” jelas Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa.
Kajian ini juga menemukan, meski industri pertambangan batubara rata-rata menyumbang 50 persen dan 70 persen terhadap PDRB selama sepuluh tahun terakhir di Muara Enim dan Paser, tapi nilai ekonomi yang besar tersebut tidak berkontribusi signifikan terhadap pendapatan pekerja industri batubara.
Sebanyak 78 persen dari nilai tambah menjadi surplus perusahaan, dan hanya sekitar 20 persen dari nilai tambah dialokasikan untuk pekerja.
“Selain itu, industri pertambangan batubara menimbulkan dampak sosial dan lingkungan yang tidak sedikit terhadap masyarakat sekitarnya.
Misalnya degradasi kualitas udara dan air, perubahan sumber penghidupan masyarakat, ketimpangan ekonomi, serta meningkatnya konsumerisme dan pencari rente,” ungkap Manajer Riset IESR Julius Christian yang menjadi periset utama kajian ini.
Menurutnya, karena perbedaan kepentingan, pengetahuan, dan akses informasi, masing-masing pihak di daerah menyikapi tren transisi energi ini dengan perspektif yang beragam.
Perusahaan batubara, misalnya, lebih menyadari risiko transisi energi terhadap bisnisnya dibandingkan pemerintah dan masyarakat awam.
“Baik perusahaan maupun pemerintah daerah mulai melakukan berbagai inisiatif transformasi ekonomi.
Akan tetapi, masyarakat lokal justru lebih skeptikal terhadap potensi penurunan batubara karena melihat peningkatan produksi beberapa waktu belakangan,” imbuh Analis Sosial dan Ekonomi IESR Martha Jesica.
Namun, menurutnya, perubahan perspektif juga tengah berlangsung di tengah masyarakat dan perusahaan industri batubara.
Masyarakat mulai memiliki visi untuk diversifikasi ekonomi dan perusahaan batubara mulai mengembangkan bisnis bidang lain.
“Semua hal terkait dengan transisi di daerah penghasil batubara ini perlu masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintah pusat maupun provinsi masing-masing.
Itu untuk memberikan dukungan dan arahan yang jelas bagi pemerintah daerah,” tutup Analis Kebijakan Lingkungan IESR Ilham Surya. (*)
