
KOTAKU, BALIKPAPAN-Anggota Dewan Pakar Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono menilai, kebijakan tiket elektronik sejak 1 Mei tahun 2020 oleh PT ASDP yang dilandasi Peraturan Menteri No 19 tahun 2020, merugikan pengguna jasa angkutan penyeberangan. Ia pun mendesak aturan tersebut dievaluasi.
Dalam siaran pers yang disampaikan, Rabu (1/12/2021), alumni Teknik Perkapalan ITS Surabaya ini menerangkan, penerapan tiket elektronik justru mengakibatkan harga tiket angkutan penyeberangan jadi lebih mahal. Di sisi lain, masyarakat menjadi kesulitan mengakses tiket angkutan penyeberangan secara langsung di terminal.
“Padahal sebelumnya masyarakat sudah membayar mahal harga tiket karena ongkos jasa kepelabuhanan, ongkos jasa penyeberangan dan ongkos jasa asuransi masuk dalam komponen harga tiket. Nah, ongkos jasa kepelabuhanan itu terdiri penyediaan ruang tunggu terminal, fasilitas dermaga dan jasa penjualan tiket yang dulu dilayani oleh ASDP secara langsung. Tetapi saat ini setelah menggunakan tiket elektronik, konsumen justru dibebankan kenaikan harga tiket yang tidak menentu,” kata BHS, di Jakarta, Selasa (30/11/2021).
Dia mencontohkan, lintasan Ketapang Gilimanuk, sebelumnya harga tiket Rp8.500. Terdiri dari ongkos jasa pelabuhan sebesar Rp3.800, sedangkan ongkos jasa pelayaran tidak berbeda jauh sebesar Rp3.900 dan ongkos jasa asuransi Rp800.
“Setelah menggunakan tike elektronik, harga tiket tidak menentu, ada Rp13 ribu, Rp14 ribu dan bahkan sampai Rp15 ribu. Masyarakat juga kesulitan melakukan transaksi menggunakan tiket online, karena waktu yang dibutuhkan lebih dari 10 menit bahkan sampai 20 menit, selain itu sangat tidak lazim karena masa berlaku tiket online dibatasi tidak lebih dari 2 jam harus melaksanakan check in, padahal moda transportasi lainnya seperti pesawat, kereta api bisa sampai bulanan dan bahkan tahunan berlakunya tiket tersebut dari saat mendaftar,” jelasnya.
Lanjut dia memberi pandangan, idealnya, tiket sistem elektronik menjadikan tarif angkutan penyeberangan semakin terjangkau karena ongkos produksi tiket berkurang.
“Jadi bila konsumen sudah dibebani ongkos jasa kepelabuhanan, maka harusnya ongkos jasa kepelabuhananlah yang diturunkan, bukan malah dinaikkan harganya menjadi tiga kali lipat,” ungkap BHS selaku Ketua Harian Masyarakat Transportasi Indonesia Jawa Timur.
Apalagi, lanjut anggota DPR-RI periode 2014-2019, saat ini agen agen tiket menjamur di lintasan Ketapang Gilimanuk, bahkan jumlahnya ratusan. Demikian juga di Merak Bakauheni yang diduga diakomodir ASDP, padahal bukan agen yang profesional dan bahkan tidak memiliki izin sebagai travel agen. “Bahkan bengkel sepeda motor, warung nasi, penjual makanan, penjual bakso, penjual sembako dan kos-kosan berfungsi sebagai agen agen yang dilegalkan ASDP dan membebani masyarakat dengan beban tambahan yang demikian besar, yang dapat dikatakan mereka sebagai calo tiket yang dilegalkan ASDP,” tudingannya.
Padahal praktik percaloan untuk transportasi udara, darat dan kapal laut sudah diberantas habis karena merugikan masyarakat. “Sedangkan angkutan penyeberangan malah ditumbuhkan dengan subur berpayungkan Peraturan Menteri No 19 tahun 2020. Harusnya ini menjadi satu temuan dari target dibentuknya Satgas Mafia Kepelabuhanan yang diinisiasi kepolisian dan kejaksaan dengan dorongan dari Menko Luhut Panjaitan, juga disinyalir adanya pungutan liar yang harus diberantas oleh tim Saber Pungli yang diinisiasi Presiden RI Jokowi. Dan diharapkan melakukan investigasi,” kata Ketua Dewan Penasehat DPD Partai Gerindra Jawa Timur ini. (*)
