
KOTAKU, BALIKPAPAN-DPRD Balikpapan menolak penggunaan teknologi desalinasi sebagai solusi penyediaan air bersih. Yakni menyulap air laut menjadi tawar.
Ketua Komisi II DPRD Balikpapan Fauzi Adi Firmansyah, menegaskan bahwa biaya operasional yang tinggi membuat opsi ini tidak layak diterapkan.
Itu berdasarkan hasil kunjungan kerjanya ke Batam beberapa waktu lalu. Dia menjelaskan, dari hasil kunjungan kerja tersebut, dia mengaku menemukan bahwa proyek desalinasi di Indonesia masih sebatas konsep dan belum terbukti efektif.
Biaya produksi air hasil desalinasi bisa mencapai Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per liter, jauh dari jangkauan masyarakat.
“Di negara Timur Tengah, teknologi ini berhasil karena mereka punya energi murah dan teknologi yang lebih maju.
Sementara di Indonesia, biayanya terlalu mahal dan belum ada penerapan yang optimal,” ujarnya dijumpai usai Rapat Paripurna dengan agenda penyampaian Nota Penjelasan DPRD Balikpapan atas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan serta Raperda Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Rapat digelar di aula Gedung Parkir Klandasan, Senin (3/2/2025).
Sebagai solusi, DPRD Balikpapan akan berkoordinasi dengan DPRD Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) dan gubernur terpilih untuk memanfaatkan air Sungai Mahakam. Sungai ini memiliki debit air yang melimpah dan sudah menjadi sumber utama bagi banyak daerah di Kaltim.
Rencana distribusi air dari Sungai Mahakam ke Balikpapan melalui jalur tol juga tengah dikaji agar pengiriman lebih efisien.
Langkah ini dinilai lebih realistis untuk memenuhi kebutuhan air bersih yang semakin meningkat seiring dengan populasi penduduk yang terus meningkat di Balikpapan. Begitu juga dengan kegiatan industrinya yang terus menggeliat.
Dengan solusi ini, DPRD Balikpapan berharap krisis air bersih di Balikpapan bisa diatasi secara berkelanjutan tanpa membebani masyarakat dengan harga air yang tidak terjangkau. (*)
