
KOTAKU, TANA TIDUNG-Studi terbaru Pusat Standar Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemendikbudristek dan Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) menemukan kurikulum yang fleksibel mendorong pemulihan pembelajaran dua kali lebih cepat dibanding kurikulum 2013.
Metode pembelajaran yang menggunakan asesmen diagnostik, pembelajaran berdiferensiasi, dan penyederhanaan kurikulum menitikberatkan kemampuan dasar esensial seperti literasi dan numerasi berkontribusi kepada pemulihan pembelajaran.
Salah seorang guru yang merasakan manfaat dari kurikulum fleksibel tersebut yakni Puji Lestari.
Guru kelas 1 SD Negeri Terpadu Unggulan 2, Tana Tidung, Kalimantan Utara (Kaltara).
Ia begitu bersemangat saat diminta bercerita tentang pengalamannya menghadapi pandemi COVID-19.
Bagaimana tidak, setelah 13 tahun bekerja sebagai guru, baru kali itu Puji menjalankan pembelajaran dalam kondisi darurat.
Salah satu tantangan paling berat dirasakan selama masa pandemi yakni meningkatkan kemampuan membaca murid.
Jauh sebelum pandemi, rendahnya kemampuan membaca murid SD sudah menjadi tantangan serius di Tana Tidung.
Dalam keterangan tertulis yang disampaikan, Senin (23/10/2023) dijelaskan, survei kemampuan membaca yang dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten Tana Tidung bersama Program Inovasi-program kemitraan antara Australia dan Indonesia tahun 2020 menunjukkan, hanya 39 persen murid kelas I SD yang mampu mengenali huruf, suku kata, dan kata.
Bahkan banyak murid baru mengenal “huruf” dan “angka” untuk kali pertama setelah masuk sekolah.
Rendahnya kemampuan membaca diperparah dengan datangnya pandemi yang mengharuskan murid belajar di rumah.
Penutupan sekolah menyulitkan pembelajaran. Sebelumnya, guru masih bisa membantu murid kelas I yang kesulitan membaca dengan memberikan pelajaran membaca intens setiap hari dan pelajaran tambahan.
Saat pandemi, kegiatan tersebut tidak bisa dilakukan lagi. Kondisi ini menjadi keluhan Puji. 13 tahun mengajar sebagai guru baru kali itu dia merasa frustrasi.
Menerima murid baru saat situasi sekolah masih ditutup memberi Puji tiga masalah baru.
“Saya tidak mengenal siapa saja murid baru lantaran belum pernah bertemu muka, saya tidak mengetahui tingkat kemampuan belajar mereka dan saya tidak tahu harus memberi materi belajar yang tepat,” tuturnya.
Kenal Karakteristik Kurikulum Merdeka
Puji mengenang kembali masa-masa awal pandemi COVID-19. Ia mengingat kembali saat berkeliling rumah para murid melakukan asesmen diagnostik, pembelajaran terdiferensiasi, mengembangkan budaya baca saat masa darurat dan memfokuskan pembelajaran dengan materi esensial.
Puji tidak menyangka bahwa aktivitas yang ia lakukan itu kelak menjadi karakteristik kurikulum baru bernama Kurikulum Merdeka.
Puji mengatakan, di tengah situasi pandemi yang serba membingungkan tersebut, sekolah dituntut dapat terus memberikan layanan pendidikan.
Beruntung Disdik Tana Tidung merespons cepat tantangan perubahan ini dengan membuat kebijakan penggunaan asesmen diagnostik.
Disdik membantu guru kelas I melakukan asesmen diagnostik dengan alat tes sederhana. Para guru dilatih mengukur kemampuan membaca dasar murid baru.
Pengukuran ini meliputi pengenalan huruf, suku kata, dan kata. Jika mampu melewati tes membaca dasar, siswa dapat mengikuti tes pemahaman membaca.
Alat tes ini dikembangkan Disdik Tana Tidung bersama Inovasi. Seluruh pelatihan dilakukan melalui kelompok kerja guru (KKG).
Setelah mampu menggunakan asesmen diagnostik, guru mulai melakukan pengukuran tingkat keterampilan membaca setiap murid.
Hasil pengukuran tersebut dianalisis kemudian dikelompokkan berdasarkan level kemampuan anak. Dari 21 murid yang diukur, ternyata hanya dua orang yang mencapai level pemahaman membaca, satu orang membaca kata, dan sisanya 18 orang hanya bisa mengenal huruf.
Kesimpulannya, 86 persen muridnya masih berada di level mampu mengenal huruf.
Pemulihan Pembelajaran
Pengelompokan murid berdasarkan kemampuan tingkat membaca membantu guru menyusun materi belajar yang tepat.
Puji mengembangkan materi ajar yang merujuk kebijakan Disdik Tana Tidung untuk menggunakan kurikulum yang fleksibel (kurikulum darurat).
Kurikulum khusus ini lantas diterjemahkan menjadi lembar aktivitas siswa (LAS) yang dikembangkan Tana Tidung merupakan modifikasi dari modul belajar membaca yang dikembangkan Kemdikbudristek.
Modifikasi ini dilakukan agar modul belajar membaca Kemdikbudristek sesuai dengan konteks Tana Tidung.
Puji membuat dua model LAS. Yakni untuk level kemampuan mengenal huruf dan LAS untuk level kemampuan pemahaman membaca.
”Penggunaan LAS berbeda ini kemudian hari kami kenal sebagai pembelajaran terdiferensiasi,” ujarnya.
LAS didistribusikan kepada murid seminggu sekali. Selain LAS, guru juga meminjamkan buku cerita anak yang levelnya disesuaikan dengan kemampuan membaca.
Pendistribusian LAS dan buku cerita dilakukan dengan dua cara secara bergantian.
Pertama, orangtua dan murid datang mengambil LAS ke sekolah. Kedua, guru mengantarkan LAS ke rumah.
Kebijakan ini dilakukan agar guru bisa melakukan pendampingan belajar di rumah. Guru dan orangtua bisa melihat perkembangan kemampuan belajar anak.
Penggunaan LAS, pendampingan, dan kegiatan membaca buku cerita ternyata berhasil meningkatkan kemampuan.
Salah seorang di antaranya yakni Fauzan. Juli 2020 lalu, Fauzan baru bisa membaca huruf. Puji dan orangtuanya bekerja sama membantu Fauzan.
Setiap seminggu sekali Puji mengantarkan LAS dan mendampingi Fauzan belajar membaca.
Orangtua Fauzan mendukung dengan rutin membacakan buku cerita untuknya. Juga membantu Fauzan mengerjakan LAS.
Sinergi antara guru dan orangtua terbukti efektif. Hanya dalam waktu tiga bulan kemampuan membaca Fauzan sudah naik ke level membaca suku kata.
Lima bulan kemudian kemampuan membaca Fauzan kembali meningkat, dari level membaca suku kata menjadi lancar membaca kata.
Perlahan Fauzan mulai mengenal lebih banyak huruf, suku kata, dan kata. September 2020, Fauzan sudah bisa membaca buku cerita sederhana. Ia bahkan sudah bisa menceritakan isi cerita buku tersebut.
Hasil asesmen diagnostik secara reguler menunjukkan perkembangan positif.
Juli 2020, dari 21 murid baru, terdapat 86 persen yang hanya mengenal huruf.
Jumlah tersebut berkurang menjadi 29 persen hanya dalam lima bulan. Dari 18 murid, kini tinggal enam murid yang baru bisa mengenal huruf saja.
Pengalaman Puji melakukan pemulihan pembelajaran menjadi modal penting mengimplementasikan kurikulum merdeka. Sekalipun kurikulum ini baru, karakteristiknya sudah lama Puji gunakan di kelas.
Studi PSKP Kemendikbudristek dan Inovasi menemukan bahwa kurikulum yang fleksibel mendorong pemulihan pembelajaran dua kali lebih cepat dibanding kurikulum 2013.
Yang menggembirakan faktor kunci ini menjadi karakteristik dan prinsip utama dalam Kurikulum Merdeka.
Hasil yang mengembirakan ini telah dirangkum dalam buku Bangkit Lebih Kuat; Studi Kesenjangan Pembelajaran (2023). Buku ini telah diluncurkan Mendikbudristek Nadiem Makarim dan Wakil Duta Besar Australia Steve Scott, beberapa waktu lalu di Jakarta (*)
