Nasional

Ojol Direspon Cepat, Penyesuaian Tarif Angkutan Penyeberangan Molor 1,5 Tahun

Bambang Haryo: Menteri Jokowi Tidak Kompak, Omnibus Law Sulit Diterapkan

Bambang Haryo Soekartono


KOTAKU, JAKARTA-Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya dan Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut B Pandjaitan dinilai saling lempar tanggung jawab soal tarif angkutan penyeberangan sehingga tak kunjung ditetapkan meskipun sudah dibahas selama lebih 1,5 tahun bersama Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap). Molornya penetapan tarif penyeberangan menunjukkan ketidakprofesionalan dua kementerian tersebut dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.

“Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun. Akibatnya selama 3 tahun tidak pernah ada penyesuaian. Sekarang kembali terganjal di Kemenko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji. Padahal, pelimpahan kajian di Kemenko Marves sudah berlangsung lebih dari 3 bulan,” kesal Dewan Penasihat Gapasdap Bambang Haryo Soekartono dalam siaran pers yang diterima kotaku.co.id, Sabtu (25/1/2020).

Anggota DPR RI periode 2014-2019 ini, mengaku sudah bertemu langsung dengan pejabat di Kemenko Marves yang ditugaskan Menko Marves guna mengevaluasi tarif.

“Pajabat yang merupakan staf ahli Menko Marves itu mengaku tidak mengerti maritim dan baru pertama kali membahas soal penyeberangan. Dia bilang masih menunggu data sehingga belum bisa mengkaji usulan tarif dari Kemenhub,” herannya.

Menurut Bambang Haryo, Menko Marves tidak percaya dengan usulan tarif dari Kemenhub sehingga perlu dikaji lagi secara detil.

“Menhub Budi Karya dan Menko Luhut B Pandjaitan saling pingpong, lempar tanggung jawab. Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Marves mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional,” ungkapnya.

Keterlibatan Menko Marves dalam evaluasi tarif penyeberangan, lanjutnya baru kali pertama sesuai Inpres No 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.

“Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor ini saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi,” cetusnya.

Peringatkan Menhub

Bambang Haryo kembali melanjutkan, jika Menko Marves Luhut B Pandjaitan beserta stafnya profesional dan mengerti juga memprioritaskan maritim, seharusnya mengingatkan Menhub Budi Karya agar segera membereskan evaluasi tarif karena kondisi penyeberangan sudah kritis dan terancam berhenti operasi dalam waktu dekat.

“Kemenko Marves harus mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, dan bahkan harus menolak usulan Menhub Budi Karya untuk mencicil kenaikan tarif 38 persen dibagi tiga tahap selama 3 tahun karena menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi,” tuturnya memberi pandangan.

Berdasarkan perhitungan Bambang Haryo, kenaikan tarif penyeberangan secara sekaligus tidak berdampak signifikan terhadap nilai komoditas barang yang diangkut kendaraan, yakni hanya sekitar 0,15 persen. “Beras misalnya Rp 10 ribu per Kg. Dengan adanya penyesuaian tarif sebesar 38 persen maka kenaikannya berkisar Rp15 per kg.

Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan publik, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,” tegasnya.

Mengenai pengakuan staf ahli Menko Marves yang menyebut belum punya data angkutan penyeberangan, Bambang Haryo menilai hanya mencari alasan. Karena menurut Kemenhub sudah menyerahkan semua data terkait angkutan penyeberangan, Menko Marves bisa dengan mudah meminta data dari PT ASDP Indonesia Ferry (Persero).

Dia mengatakan, PT ASDP yang merupakan kaki tangan pemerintah di sektor penyeberangan memiliki semua data yang diperlukan Menko Marves, seperti pendapatan dan biaya.

“ASDP tahu persis pendapatan perusahaan penyeberangan karena dia yang menjual tiket, ASDP juga tahu persis biaya operasional kapal karena dia operator kapal dan memungut biaya kepelabuhanan,” jelasnya.

Bambang Haryo mengatakan, penyesuaian tarif penyeberangan ini untuk membuktikan apakah Menhub dan Menko Marves bisa menjalankan visi dan misi Presiden Joko Widodo untuk memajukan sektor maritim.

Kedua kementerian tersebut sambung dia kemudian, begitu cepat menanggapi tarif ojek online. Sebaliknya tarif kapal feri yang merupakan industri maritim malah diundur-undur. Padahal, risikonya jauh lebih besar untuk menjamin keselamatan nyawa publik. “Mana prioritas maritim yang menjadi jargon Pak Jokowi menjadi perhatian kedua kementerian tadi. Dan apabila penyeberangan sampai terhenti, Presiden Jokowi pasti akan disalahkan rakyat karena logistik antar pulau seluruh Indonesia akan macet total dan ekonomi terganggu,” pungkasnya. (run)

To Top