Metro

Tolak Kenaikan Tarif Listrik Tahun 2022, Bambang Haryo: PLN Harus Diaudit

Bambang Haryo Soekartono

KOTAKU, BALIKPAPAN-Rencana pemerintah menaikkan tarif listrik tahun 2022 hampir semua golongan, dikritisi anggota Dewan Pakar Partai Gerindra Bambang Haryo Soekartono. Menurutnya, kenaikkan tarif listrik tidak masuk akal dan membebani masyarakat.

Dalam siaran pers yang disampaikan, Kamis (23/12/2021), anggota DPR-RI periode 2014-2019 ini menjelaskan, kenaikan tarif listrik akan memberikan efek ganda (multiplier effect) ekonomi yang luar biasa besar bagi dunia usaha yang akhir-akhir ini mengalami kesulitan dipukul mundur pandemi covid-19 diikuti penurunan daya beli masyarakat.

“Indonesia memiliki sumber energi listrik dan energi alternatif yang sangat besar dan melimpah, misalnya batu bara yang saat ini digunakan sendiri dan bahkan diekspor jauh lebih besar dari pada penggunaannya di dalam negeri, seperti ke Vietnam dan China, tetapi justru tarif listrik di Vietnam dan China lebih rendah dari Indonesia yaitu 8,2 sen/kwh dan 8,6 sen/kwh, Indonesia juga penghasil minyak bumi dan gas yang terbesar di Asia Tenggara, penghasil kelapa sawit terbesar di dunia bisa menjadi sumber energi alternatif termasuk adanya ribuan air terjun dari sekitar 250 gunung yang ada di Indonesia merupakan sumber air nomor lima terbesar di dunia,” jelas pemilik sapaan akrab BHS.

Selain itu, lanjut alumni Institute Teknologi Sepuluh November Surabaya, Indonesia juga memiliki sumber energi panas bumi (Geothermal) yang merupakan terbesar di dunia karena sekitar 50 persen energi panas bumi dunia ada di Indonesia dan juga masih memiliki bahan baku energi nuklir yaitu uranium yang melimpah. Juga energi alternatif sinar matahari yang terik selama 12 jam per hari, merupakan energi alternatif yang potensial untuk menghasilkan listrik.

“Jadi seharusnya tarif listrik di Indonesia harus sangat murah dan bahkan mendekati nol rupiah seperti halnya negara-negara penghasil sumber energi listrik dan energi alternatif. Data dari global princes.com, Sudan 0,2 sen/kwh yang merupakan negara penghasil minyak terbesar nomor tiga di dunia, Iran 0,4 sen/kwh yang hanya penghasil minyak dan terbesar nomor empat di dunia, Suriname 1,5 sen/kwh yang hanya penghasil minyak, Burma 3,4 sen/kwh yang menggunakan PLTA, Kazakhtan 4,1 sen/kwh yang menggunakan batu bara, Arab 4,8 sen/kwh yang hanya menggunakan minyak, Malaysia 5,2 sen/kwh dengan bahan baku energi air, Laos 4,7 sen/kwh yang menggunakan PLTA. Sedangkan di Indonesia yang mempunyai sumber energi listrik berbagai macam dan terbesar tarif listriknya sebesar 11,0sen/kwh, seharusnya PLN sudah mendapatkan keuntungan yang sangat besar bila memanfaatkan sumber energi bersama pemerintah,” terang BHS.

Lanjut Ketua Dewan Penasehat Partai Gerindra Jawa Timur ini menerangkan, harga listrik dengan penggunaan peralatan rumah tangga di Indonesia, jauh lebih besar dibanding dengan Jepang yang menerapkan tarif 24,8 sen/kwh karena tidak memiliki sumber energi listrik dan bahkan membeli gas dari Indonesia.

“Sebagai contoh penggunaan listrik di Indonesia dan Jepang yang menggunakan dua AC (alat penyejuk ruangan) dalam rumah tangga. Di Indonesia biayanya Rp600 ribu per bulan sedangkan di Jepang, penggunaan dua AC yang beroperasi 24 jam penuh saat musim panas, biayanya 2.126 Yen atau sekitar Rp267ribu,” ungkap Bambang Haryo.

Terkait itu, Bambang Haryo menuding PLN melakukan pembohongan publik. “Tarif PLN yang disampaikan 11,0 sen/kwh sedangkan di Jepang, tarifnya 24,8sen/ kwh. Tapi diduga masyarakat Indonesia mendapatkan harga di atas 50 sen/kwh dan ini merupakan tarif yang termahal di seluruh dunia.

Maka PLN harus diaudit oleh lembaga independen yang ditunjuk oleh masyarakat karena tarifnya tidak masuk akal dan kenaikan tarif listrik awal tahun 2022 harus ditolak oleh masyarakat dan dunia usaha. Dan bila pembohongan publik itu terbukti, maka PLN dan pemerintah yang berwenang terhadap tarif harus bertanggung jawab atas beban biaya yang sudah ditanggung oleh masyarakat dan dunia usaha yang mengakibatkan terpuruknya ekonomi yang ada di Indonesia saat ini,” pungkas BHS. (*)

To Top