

Cerita Pendek



Seperti tidak terjadi apa-apa, aku membalikkan tubuh agar tidak melihat betis Nauli dipukuli ayahnya. Menurutku, ayahnya memang jahat. Sebab, sedikit saja Nauli punya salah, sang ayah pasti langsung menyematkan sapu lidi ke betisnya, berkali-kali, hingga ia mengerang dan meneteskan air mata. Namun anggapanku tentang kejahatan itu, selalu disanggah oleh ibu. Katanya, hal itu wajar dilakukan ayahnya kepada Nauli, agar ia tidak mengulangi kesalahannya lagi. Bahkan ibu mempertegas, apabila kelak aku melakukan kesalahan fatal, bisa jadi giliranku yang akan menerima hukuman yang sama.
Berlahan aku menghindar. Menjauh dari sebuah tindakan kejam yang dilakukan seorang ayah kepada putrinya. Tapi telingaku jelas mendengar jerit tangis gadis kecil itu. Dan sesekali kutangkap, ia berseru minta ampun seperti bermohon kepada Tuhan.
“Ampun, Pak, ampun. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Nauli bermohon.
“Dasar anak bandal! Disuruh menjaga padi, malah bermain lumpur! Kau lihat itu, padinya sudah habis,” ujar ayahnya.
“Ampun, Pak, ampun, aku tak akan mengulanginya lagi.” jeritnya kembali bermohon.
“Diam kau! Biar kau benar-benar mengerti apa kesalahanmu.”
Selang beberapa saat, hanya sedu yang terdengar. Aku tetap tidak berani menoleh ke arah dari mana asal-muasal suara itu–walaupun sebenarnya hati kecilku ingin membujuknya. Mengusap kepalanya. Tapi aku tetap memilih berdiam diri di atas hamparan sawah, menanti sunyi benar-benar menghampiri.
Setelah sore mulai pergi, aku memastikan terlebih dahulu apakah burung-burung pemakan padi sudah pulang ke sangkar masing-masing. Biasanya, sebelum gelap malam hadir, akan terlihat di langit burung-burung pemakan padi itu terbang secara bergerombol menembus awan yang sudah terlihat samar-samar. Kalau sudah melihat itu, berarti penjaga padi sudah boleh pulang.
Setibanya di rumah, pekerjaanku tinggal nyuci piring sambil mandi di pancuran belakang rumah. Ibu pasti sudah selesai menyiapkan makan malam. Setiap malam, kami memang selalu makan malam bersama. Terkadang aku mendengar ayah dan ibu berdebat tentang siapa yang akan memimpin doa makan malam. Tapi akhirnya, sebagai ibu yang baik, ibu akan mengalah. Dan bukan berarti ayah tidak mau, tetapi memang karena sudah keseringan.
***
Malam ini, aku berusaha menuntaskan hafalan yang diperintahkan guru Bahasa Indonesia pagi tadi. Pak Alfian menyuruh kami menghafal tuntas puisi Chairil Anwar berjudul, “Diponegoro” dan akan diperagakan satu per satu di depan anak didik. Menghafal itu, menurutku tidaklah pekerjaan yang sulit, apalagi pelajaran Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang amat kugemari.
Jika guru kami menyuruh mengarang cerita, bisa saja buku tulisku habis lima lembar timbal-balik. Ide selalu saja mengalir, aku menceritakan kenangan-kenangan yang pernah aku lalui bersama ayah, ibu, dan Ira, kakaku.
Setelah tuntas menghafal puisi. Aku mengambil buku komik untuk melanjutkan kisah yang belum rampung.
Buku komik itu aku dapat dari Kak Ira yang dibawanya setiap libur panjang. Kata ibu, Kak Ira sedang kuliah di kota. Entah apa kata ‘kuliah’ aku belum paham. Hanya saja Kak Ira pernah mengatakan, kuliah itu sekolah juga, tapi untuk orang-orang dewasa.
Sebelum melanjutkan bacaan, tiba-tiba aku terkenang Nauli. Aku sedih. Aku bayangkan bagaimana ia menahan rasa sakit atas pukulan yang dilayangkan ayahnya sore tadi. Seandainya aku tidak mengajaknya bermain lumpur di sawah, mungkin ayahnya tidak akan memukul dan memarahinya.
Waktu sudah hampir tengah malam. Tapi aku belum bisa tertidur. Rasa bersalah dalam hati semakin menjadi-jadi. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Padahal kata wali kelas kami, tidak bagus tidur di atas pukul 10 malam. Sebenarnya aku sudah berusaha untuk memejamkan mata, namun nyatanya aku tak kunjung terlelap. Ada semacam dorongan untuk tetap mengingat Nauli.
Akibat begadang, paginya aku pun telat bangun. Ibu memarahiku. Hanya cuci muka, cepat-cepat aku mengenakan seragam sekolah. Tanpa sarapan, aku berlari kencang agar bisa tiba di dalam kelas sebelum mata pelajaran dimulai. Jujur, baru kali ini aku terlambat bangun. Biasanya, setiap pagi, aku pasti membantu ibu beres-beres, nyuci piring, lalu sarapan sebelum berangkat ke sekolah.
“Lama kali kau, Rolop?” bentak Pak Alfian.
“Maaf, Pak, tadi ada kerjaan di rumah.”
“Bah, emang bisa seperti itu? kau kira ini sekolah nenek moyangmu?” bentaknya. Teman-teman pada terdiam melihat kejadian itu.
“Maaf, Pak, aku tidak akan mengulanginya lagi.” jawabku gemetar.
Kulirik Nauli yang duduk di bangku paling depan. Ia hanya diam saja, mungkin ia masih marah terhadapku atas kejadian kemarin sore, dalam hatiku.
“Baiklah, berhubung karena kau terlambat, sekarang kau pertama membawakan puisi yang bapak suruh kemarin.”
“Baik, Pak.” jawabku sambil bergegas meletakkan tas di meja belajarku yang berada di belakang meja belajar Nauli.
“Di masa pembangunan ini,,,.”
Usai membawakan puisi fenomenal itu, aku terharu mendengar tepuk tangan teman-teman satu kelas yang datang secara spontan. Kulihat Pak Alfian sudah mulai tersenyum atas penampilanku. Tapi yang paling menyenangkan dalam hatiku adalah, setelah melihat Nauli ikut tersenyum. Dan aku mulai yakin kalau dia tidak marah mengenai kejadian kemarin.
Setelah pulang sekolah, aku langsung menemui Nauli untuk memastikan kebenaran kemarahannya.
“Kamu tadi bagus, Uli,” sapaku memulai percakapan.
“Kamu juga, Lop.” jawabnya tersenyum.
“Hmm, maaf, yah. Gara-gara aku, kemarin kamu jadi kena marah?”
“Ah, tidak apa. Tidak usah diingat-ingat lagi.” jawabnya membuat hatiku bahagia.
Sebenarnya aku ingin bercerita mengapa aku terlambat tadi pagi. Ingin mengisahkan, kalau semalam aku susah tidur karna memikirkannya. Tapi niat itu aku urung. Aku tidak berani mengatakannya. Aku benar-benar malu. Jika ditanya dikarenakan oleh apa, pastilah kujawab, tidak tahu.
Sama seperti kemarin. Sepulang sekolah, setelah ganti seragam dan makan siang, kami kembali bertemu di hamparan sawah–yang kebetulan tetanggaan. Aku tidak berani lagi mengajaknya untuk bermain lumpur atau sekedar bercerita tentang pelajaran di sekolah.
Saat mengusir burung-burung hingga senja, kami tidak juga saling sapa. Namun tatapan kami sering bertemu. Bisa kupastikan, di antara tatapan itu, ada sebuah cerita yang hendak ingin kami utarakan. Gelap pun mulai menghampiri. Di bawah burung-burung pemakan padi yang pulang secara bergerombol itu, aku berdoa dalam hati, “Tuhan, semoga kami tetap menjadi sahabat yang baik.” (*)
Silobosar, Desember 2012
Tuntun Siallagan, lahir 26 Desember 1990. Penikmat sastra yang selalu mencoba belajar menulis. Cerpen dan puisinya sudah pernah tayang di Harian Analisa, Sumut Pos, Medan Bisnis, Batak Pos, Mimbar Umum, dll. Saat ini bergelut di dunia jurnalistik dan menetap di Kota Balikpapan.
Redaksi kotaku.co.id menerima tulisan berupa cerita pendek, esai, resensi buku, opini, dan puisi dari penulis muda di Kalimantan Timur, khususnya Balikpapan. Karya yang dianggap layak oleh redaksi, akan ditayang setiap hari Minggu di rubrik “Bakisah”. Untuk cerpen, esai, resensi buku, maupun opini, tulisan minimal 5.000 dan maksimal 10.000 karakter. Sedangkan puisi, minimal lima puisi dalam sekali pengiriman. Setiap karya yang dikirimkan, adalah asli dan belum pernah ditayang di media apapun. Dan setiap karya yang ditayang akan diberikan imbalan yang sepantasnya. Karya dikirim ke: redaksi@kotaku.co.id.

